Nun jauh
disebuah dusun kecil di selatan jawa timur. Tinggallah sebuah keluarga miskin. Tak ada yg istimewa. Seperti keluarga miskin kebanyakan. Yang menakjubkan hanyalah, setiap malam setelah ngaji di mushola kecil, rumah yang
terbuat dari bambu itu selalu ramai oleh anak-anak kecil. Ada apa gerangan?
Rupanya yang pemilik rumah, yang merupakan ayah dan ibu dari tiga orang
anak-anak yang hebat sedang memberikan cerita atau mendongeng untuk
anak-anaknya. Sang ayah yang tidak lulus SMP dan sang ibu yang hanya bersekolah
sampai kelas 2 SD dan buta huruf selalu bergantian mendongeng untuk
anak-anaknya. Karena dongeng itu dianggap menarik, maka anak-anak tetanggapun
ikut mendengarkan.
Macam-macam
dongengnya, tentang si Pitung, tentang Arya Kamandanu, tentang hikayat para
Nabi sampai dongeng dari negeri antah berantah. Cerita itu begitu hidup, begitu
nyata dan kami sering meminta sang ayah untuk bercerita hingga larut malam.
Pagi harinya, ke tiga anak itu bangun dengan semangat para petualang, dengan
semangat ingin selalu mencoba hal-hal baru. Sebuah hari yang mengesankan.
Sampai bertahun-tahun
kemudian, kisah-kisah heroik masa kecil itu telah mengispirasi tiga anak kecil
itu untuk hidup dengan semangat petualangan. Mereka ingin merasakan bagaimana
asiknya menyeberangi laut merahl yang dibelah. Mereka ingin merasakan panasnya
di bakar kayu bakar bak Nabi Ibrahim. Mereka ingin merasakan bagaimana rasanya
mengusir penjajah belanda seperti si Pitung. Dan kisah-kisah heroik itu telah
melontarkan langkah kaki kecil mereka jauh menerobos ketidakmungkinan dan
keterbatasan.
Semangat
hidup bertualang ini telah membawa anak-anak ini jauh melampaui dugaan banyak
orang. Anak-anak petani miskin ini, berhasil menyelesaikan kuliahnya, strata
satu, yang dulu seperti hal yang mustahil bagi keluarganya dan orang-orang di
sekitnya. Dan ketiganya berhasil memasuki perguruan tinggi negeri bergengsi di
jawa timur ini tanpa sokongan financial
dari orangtuanya yang hanya seorang petani miskin. Dengan semangat petualangan
itu, si sulung menyelesaikan pendidikan strata satu dengan mengajar les sana
sini, si nomer dua menyelesaikan perguruan tingginya dengan berjualan jilbab,
baju dan buku-buku, si nomer tiga yang masih duduk di bangku kuliah semester
tujuh menghidupi dirinya dengan lomba-lomba karya tulis ilmiah dan beasiswa.
Bagaimana
jika sang ayah dan ibu tidak mendongeng dan menceritakan tentang ‘betapa
menariknya dunia diluar sana’. Mungkin ke tiga anak ini tak akan bisa membuat
dongengnya sendiri. Mungkin ke tiga anak ini sekarang hanyalah perempuan desa
yang hari-harinya habis untuk bercocok tanam disawah. Dan mungkin cerita ini
tidak pernah ada.
Ayah, Ibu, jangan pernah meremehkan
cerita. Karena kita tidak pernah tau sejauh apa cerita itu menginspirasi
anak-anak kita.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar