Halaman

Senin, 11 Juni 2012

Ayah Ibu, Mendongenglah! (dimuat di majalah Kotak Amal)


Nun jauh disebuah dusun kecil di selatan jawa timur. Tinggallah sebuah keluarga miskin. Tak ada yg istimewa. Seperti keluarga miskin kebanyakan. Yang menakjubkan hanyalah, setiap malam setelah ngaji di mushola kecil, rumah yang terbuat dari bambu itu selalu ramai oleh anak-anak kecil. Ada apa gerangan? Rupanya yang pemilik rumah, yang merupakan ayah dan ibu dari tiga orang anak-anak yang hebat sedang memberikan cerita atau mendongeng untuk anak-anaknya. Sang ayah yang tidak lulus SMP dan sang ibu yang hanya bersekolah sampai kelas 2 SD dan buta huruf selalu bergantian mendongeng untuk anak-anaknya. Karena dongeng itu dianggap menarik, maka anak-anak tetanggapun ikut mendengarkan.
Macam-macam dongengnya, tentang si Pitung, tentang Arya Kamandanu, tentang hikayat para Nabi sampai dongeng dari negeri antah berantah. Cerita itu begitu hidup, begitu nyata dan kami sering meminta sang ayah untuk bercerita hingga larut malam. Pagi harinya, ke tiga anak itu bangun dengan semangat para petualang, dengan semangat ingin selalu mencoba hal-hal baru. Sebuah hari yang mengesankan.
Sampai bertahun-tahun kemudian, kisah-kisah heroik masa kecil itu telah mengispirasi tiga anak kecil itu untuk hidup dengan semangat petualangan. Mereka ingin merasakan bagaimana asiknya menyeberangi laut merahl yang dibelah. Mereka ingin merasakan panasnya di bakar kayu bakar bak Nabi Ibrahim. Mereka ingin merasakan bagaimana rasanya mengusir penjajah belanda seperti si Pitung. Dan kisah-kisah heroik itu telah melontarkan langkah kaki kecil mereka jauh menerobos ketidakmungkinan dan keterbatasan.
Semangat hidup bertualang ini telah membawa anak-anak ini jauh melampaui dugaan banyak orang. Anak-anak petani miskin ini, berhasil menyelesaikan kuliahnya, strata satu, yang dulu seperti hal yang mustahil bagi keluarganya dan orang-orang di sekitnya. Dan ketiganya berhasil memasuki perguruan tinggi negeri bergengsi di jawa timur  ini tanpa sokongan financial dari orangtuanya yang hanya seorang petani miskin. Dengan semangat petualangan itu, si sulung menyelesaikan pendidikan strata satu dengan mengajar les sana sini, si nomer dua menyelesaikan perguruan tingginya dengan berjualan jilbab, baju dan buku-buku, si nomer tiga yang masih duduk di bangku kuliah semester tujuh menghidupi dirinya dengan lomba-lomba karya tulis ilmiah dan beasiswa.
Bagaimana jika sang ayah dan ibu tidak mendongeng dan menceritakan tentang ‘betapa menariknya dunia diluar sana’. Mungkin ke tiga anak ini tak akan bisa membuat dongengnya sendiri. Mungkin ke tiga anak ini sekarang hanyalah perempuan desa yang hari-harinya habis untuk bercocok tanam disawah. Dan mungkin cerita ini tidak pernah ada.
Ayah, Ibu, jangan pernah meremehkan cerita. Karena kita tidak pernah tau sejauh apa cerita itu menginspirasi anak-anak kita.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar