Halaman

Selasa, 08 Mei 2012

tulisan september 2008

Adikku. Puji Anik Mulyani. Sosok yang benar-benar berbeda
denganku. Tidak hanya fisik kami. Ia memiliki tinggi 167 cm. Sedang aku tak
lebih dari 150 cm. Ia menyukai ilmu matematika, berhitung dan angka-angka. Ia
memilih jurusan Akuntansi. Aku pernah dikeluarkan dari kelas karena nyontek
pada saat ulangan matematika dan aku selalu panas dingin karena pelajaran
akuntansi (meskipun di SMEA aku mengambil jurusan Akuntansi hanya karena
Akuntansi jurusan terbagus di SMEA dan Danemku bisa masuk jurusan itu). Aku menyukai
bahasa, puisi, cerita bohong dan gumam metaforis. Adikku meyukai peraturan dan
target. Di kamarnya terpampang target harian, mingguan dan semesteran. Semester
sekian harus bisa ini, bulan depan harus itu. Ia menyukai gerak teknis dan
mekanis. Bangun pagi, berangkat kuliah, sesekali rapat organisasi, pergi
ngelesi, belajar, tidur, bangun sholat malam. Begitu setiap hari. Aku mengalir
seperti air. Atau air yang tidak pernah mengalir dan menjadi sarang jentik
nyamuk.

 Sesekali adikku menulis cerpen.
Hanya untuk satu alasan, mendapatkan honor. Ia menyuruhku mengomentari
cerpennya. Ku katakan padanya, cerpennya bagus, tetapi sebaiknya ia menulis
buku Teori Ekonomi Mikro atau Pengantar Akuntansi daripada menulis puisi (untuk
tidak mengatakan dia tak berbakat jadi cerpenis). Sedang aku menulis untuk
diriku sendiri. Menulis membuatku lega. Meluruhkan beban-bebanku. Membuatku
bebas dan merdeka. Tak pernah berfikir honor atau royalty. Tak pernah berfikir
penilaian tentang tulisanku. Aku hanya ingin menulis (dan oleh karenanya aku
ingin jadi penulis, orang yang menulis).
 Kami memang sama-sama suka baca.
Tetapi sudah tentu bacaan kami berbeda. Aku menikmati Zawawi Imron, Taufik
Ismail, Pramudya, Ahmad Tohari, sesekali Ayu utami dan Jenar dan sejenisnya. Berkali-kali
ku tawari untuk membacanya juga. Tapi ia selalu menggeleng. Dan adikku
mengakrabi Statistika untuk bisnis, Pengantar Teori Mikro, Akuntansi Lanjutan
dan sejenisnya. Aku lupa apa dulu aku juga suka membaca buku2 referensi kuliahku.
Seingatku aku tak pernah beli buku kuliah. Akhir-akhir ini ia memang suka
membaca Konsep Pemikiran Gerakan Ikhwan atau Ma’alim Fithoriq. Tapi ia jadi
sering bertanya, ”Ini maksudnya apa?”.
Ia sulit menerima sesuatu yang baru. Sesuatu yang tak lazim. Ia mengomel
dengan kebiasaanku mandi malam, diatas jam 10. ia heran mengapa aku cepat akrab
dengan orang asing terutama lelaki. Aku sebaliknya. Aku menyukai sesuatu yang
berbeda denganku. Aku menganggap perbedaan adalah petualangan yang
menyenangkan. Maka aku berkenalan dengan siapa saja, yang kadang dianggap aneh
oleh adikku.
 Kami juga berbeda selera makan.
Makan bagi aku hanya satu cara untuk melanjutkan hidup. Hanya sebuah proses
biologis, lapar-makan. Tapi bagi adikku, makan adalah bagian dari peradaban
masa depan. Sayur, lauk, sesekali susu harus tersedia. ”Ini untuk anak-anak
kita yang akan kita lahirkan kelak. Agar nantinya lahir sehat”. Wow sungguh visioner!!!. Bahkan aku tak bisa membedakan
rasanya Mie Instan Ayam bawang dengan soto. Seorang teman pernah memberiku
jeruk, katanya untuk dimasak. Aku tanya, dimasak apa jeruk kayak gini, dia
bilang ”kasihkan adikmu ia sudah tau harus dimasak apa”. Alamaaak!!! Apa aku
sebego itu tentang masakan.
 Adikku tetaplah makhluk yang
teristimewa. Yang membuatku bisa berbuat apa saja. Aku mungkin lebih bahagia.
Aku menjadi diriku sendiri. Tanpa aturan tanpa beban tanpa target. Bebas dan
merdeka. Atau aku salah. Justru peraturan dan target itulah yang membuat adikku
lebih berarti. Lebih bermakna. Bahkan lebih bahagia. Yang jelas, aku tak pernah
lebih baik dari adikku.

adikku, aku sangat menyayanginya….
sudah terlalu larut dan aku belum tidur…
besok, ia akan mengomel karena aku sulit dibangunkan sholat malam.